Minggu, 16 Oktober 2016

wisata merangin, grao sakti

Grao sakti merupakan salah satu objek wisata yang ada di kabupaten merangin, provinsi jambi. objek wisata ini masih bulum banyak dikenal oleh masyarakat luas, bukan hanya yang diluar kabupaten tetapi juga masyarakat kabupaten merangin itu sendiri. hal ini dikarenakan akes menuju lokasi objek wisata terutama infrastrutur jalan yang tidak memadai. untuk mencapai lokasi ini penggunjung membutuhkan waktu sekitar 6-7 jam dari kota bangko. tentu ini waktu yang sangat lama, ditambah bila cuaca hujan maka kita tidak dapat mencapai lokasi dikarenakan jalan yang becek dan berlumpur.
untuk menggobati rasa penasaran para traveler damn masyrakat luas umumnya, ini admin bagikan beberapa foto lokasi grao sakti,,



Sabtu, 15 Oktober 2016

4 PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL



Mekanisme Interaksional

            Perubahan sosial dalam masyarakat bukan merupakan sebuah hasil atau produk tetapi merupakan sebuah proses. Perubahan sosial merupakan sebuah keputusan bersama yang diambil oleh anggota masyarakat. Konsep dinamika kelompok menjadi sebuah bahasan yang menarik untuk memahami perubahan sosial. Kurt Lewin dikenal sebagai bapak manajemen perubahan, karena ia dianggap sebagai orang pertama dalam ilmu sosial yang secara khusus melakukan studi tentang perubahan secara ilmiah. Konsepnya dikenal dengan model force-field yang diklasifikasi sebagai model power-based karena menekankan kekuatan-kekuatan penekanan. Menurutnya, perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap kelompok, individu, atau organisasi. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving forces) akan berhadapan dengan penolakan (resistences) untuk berubah. Perubahan dapat terjadi dengan memperkuat driving forces dan melemahkan resistences to change.

Langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengelola perubahan, yaitu :
  1. Unfreezing, merupakan suatu proses penyadaran tentang perlunya, atau adanya kebutuhan untuk berubah.
  2. Changing, merupakan langkah tindakan, baik memperkuat driving forces maupun memperlemah resistences.
  3. Refreesing, membawa kembali kelompok kepada keseimbangan yang baru (a new dynamic equilibrium).
Apabila berkaca pada perspektif materialis yang menyatakan bahwa perubahan merupakan akibat dari konflik, mekanisme interaksional justru berusaha menjelaskan bagaimana konflik dapat menyebabkan perubahan sosial. Adanya pengaruh dari luar kelompok baik berupa budaya material maupun non material menyebabkan terjadinya mekanisme “pertentangan” di dalam kelompok. Di satu pihak akan terdapat individu-individu yang menerima dan disatu pihak lainnya terdapat individu yang menentang proses perubahan tersebut.
Pada dasarnya perilaku manusia lebih banyak dapat dipahami dengan melihat struktur tempat perilaku tersebut terjadi daripada melihat kepribadian individu yang melakukannya. Sifat struktural seperti sentralisasi, formalisasi dan stratifikasi jauh lebih erat hubungannya dengan perubahan dibandingkan kombinasi kepribadian tertentu di dalam organisasi.
Hans-Dieter Evers mencetuskan diskusi tentang kelompok-kelompok strategis. Kelompok strategis terdiri dari individu-individu yang terikat oleh suatu kepentingan, yakni melindungi atau memperluas hasil yang diambil alih bersama. Hasil apropriasi ini tidak hanya berbentuk harta benda melainkan juga kekuasaan, prestise, ilmu pengetahuan dan juga keagamaan. Kelompok strategis secara khas akan mengikuti dua strategi, yaitu :
1.       Hibridisasi, suatu perluasan hasil pengambil alihan ke daerah-daerah baru dengan memanfaatkan sumber pendapatan baru.
2.       Koalisi dengan cara kerjasama antar kelompok strategis.

Sumber-Sumber Struktural
Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan baru. Variabel yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial.
Di dalam kelompok sendiri pada dasarnya telah terbangun sebuah kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma. Perubahan mungkin saja tidak terjadi apabila terdapat penolakan-penolakan dari dalam kelompok. Proses perubahan membawa kelompok pada keseimbangan baru. Perubahan terjadi apabila driving forces  lebih kuat dibandingkan resistences. Pada tahap ini seringkali terjadi konflik dan “polarisasi” di dalam kelompok. Kelompok mayoritas akan berusaha menekan kelompok minoritas. Seringkali kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di dalam kelompok didasarkan pada relasi antara individu dan standar perilaku di dalam kelompok. Beberapa individu mungkin memiliki perilaku yang berbeda dengan standar perilaku di dalam kelompok. Apabila individu tetap mempertahankan perbedaan tersebut maka individu akan dikucilkan oleh kelompok dan bahkan akan “dikeluarkan” dari kelompok. Oleh karenanya seringkali individu harus berusaha untuk melakukan usaha konformis untuk menyesuaikan dengan standar kelompoknya.
Konflik tidak selamanya memberikan dampak yang jelek pada kelompok. Di dalam kelompok yang sehat justru konflik dianjurkan, hal ini sering dikenal dengan istilah kontroversi. Berbagai studi dalam bidang ilmu perilaku oranisasi yang menunjukkan bahwa adu argumentasi, ketidaksetujuan, debat, ide-ide atau informasi yang bermacam-macam ternyata sangat penting dalam meningkatkan kreatifitas dan kualitas kelompok. Keuntungan yang diperoleh dengan adanya konflik antara lain adalah anggota kelompok akan lebih terstimulasi atau terangsang untuk berpikir atau berbuat sehingga mengakibatkan kelompok menjadi lebih dinamis dan berkembang karena setiap orang mempunyai kesempatan untuk menuangkan ide-ide atau buah pikirannya secara lebih terbuka. Namun, untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam artian produktif konstruktif, konflik harus dikendalikan secara positif.

Perbandingan Perspektif 
Perspektif materialistis bertumpu pada pemikiran Marx yang menyatakan bahwa kekuatan produksi berperan penting dalam membentuk masyarakat dan perubahan sosial. Marx memberikan penjelasan bahwa pada masa teknologi masih terbatas pada kincir angin memberikan bentuk tatanan masyarakat yang feodal, sedangkan ketika mesin uap telah ditemukan tatanan masyarakat menjadi bercirikan industrial kapitalis. Perspektif ini melihat bahwa bentuk pembagian kelas-kelas ekonomi merupakan dasar anatomi suatu masyarakat.
            Perspektif materialis telah mengulas peran teknologi dalam perubahan sosial. Kubu perspektif materialis memandang bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya faktor material yang menyebabkannya. Faktor material tersebut diantaranya adalah faktor ekonomi dan teknologi yang berhubungan dengan ekonomi produksi. Pada dasarnya, perspektif ini menyatakan bahwa teknologi baru atau moda produksi baru menghasilkan perubahan pada interaksi sosial, organisasi sosial dan pada akhirnya menghasilkan nilai budaya, kepercayaan dan norma.
Peran penemuan teknologi baru di dalam perubahan sosial sangat besar, karena dengan adanya penemuan teknologi baru menyebabkan perubahan moda produksi dalam masyarakat. Masuknya teknologi telah dapat meningkatkan produktivitas dan pada akhirnya menghasilkan kesempatan kerja pada industri-industri baru yang bermunculan di kota besar. Perubahan lain yang sangat mendasar adalah munculnya kelas ekonomi baru yaitu kaum pemilik modal (pengusaha) dan buruh
Berbeda dengan kubu materialis yang memandang bahwa faktor budaya material yang menyebabkan perubahan sosial, perspektif idealis melihat bahwa perubahan sosial disebabkan oleh faktor non material. Faktor non material ini antara lain ide, nilai dan ideologi. Ide merujuk pada pengetahuan dan kepercayaan, nilai merupakan anggapan terhadap sesuatu yang pantas atau tidak pantas, sedangkan ideologi berarti serangkaian kepercayaan dan nilai yang digunakan untuk membenarkan atau melegitimasi bentuk tindakan masyarakat.

Salah satu pemikir dalam kubu idealis adalah Weber. Weber memiliki pendapat yang berbeda dengan Marx. Perkembangan industrial kapitalis tidak dapat dipahami hanya dengan membahas faktor penyebab yang bersifat material dan teknik. Namun demikian Weber juga tidak menyangkal pengaruh kedua faktor tersebut. Pemikiran Weber yang dapat berpengaruh pada teori perubahan sosial adalah dari bentuk rasionalisme yang dimiliki.

Perspektif
Penjelasan tentang Perubahan
Materialis
Perubahan merupakan akibat dari faktor material terutama teknologi. Penemuan teknologi baru menyebabkan perubahan moda produksi yang berakibat pada perubahan pada interaksi sosial, organisasi sosial dan pada akhirnya menghasilkan nilai budaya, norma dan kepercayaan baru. Teknologi dapat menyebabkan perubahan sosial melalui tiga cara yang berbeda, yaitu :
1.   Teknologi baru mampu meningkatkan berbagai kemungkinan-kemungkinan dalam masyarakat. Suatu hal yang tidak mungkin dilakukan pada masa lalu akan menjadi mungkin dengan bantuan teknologi.
2.   Teknologi baru merubah pola interaksi dalam masyarakat.
3.   Teknologi baru menyebabkan terjadinya berbagai permasalahan hidup baru bagi masyarakat.
Idealis
Perubahan merupakan akibat dari faktor non material. Termasuk dalam faktor non material adalah nilai dan ideologi. Ideologi mampu menyebabkan perubahan paling tidak melalui tiga cara yang berbeda, yaitu :
1.   Ideologi dapat melegitimasi keinginan untuk melakukan perubahan.
2.   Ideologi mampu menjadi dasar solidaritas sosial yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan.
3.   Ideologi dapat menyebabkan perubahan melalui menyoroti perbedaan dan permasalahan yang ada pada masyarakat.
Mekanisme Interaksional
Perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap kelompok, individu, atau organisasi. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving forces) akan berhadapan dengan penolakan (resistences) untuk berubah. Perubahan dapat terjadi dengan memperkuat driving forces dan melemahkan resistences to change.
Sumber Struktural
Perubahan terjadi apabila driving forces  lebih kuat dibandingkan resistences. Pada tahap ini seringkali terjadi konflik dan “polarisasi” di dalam kelompok. Kelompok mayoritas akan berusaha menekan kelompok minoritas. Seringkali kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di dalam kelompok didasarkan pada relasi antara individu dan standar perilaku di dalam kelompok. Beberapa individu mungkin memiliki perilaku yang berbeda dengan standar perilaku di dalam kelompok. Apabila individu tetap mempertahankan perbedaan tersebut maka individu akan dikucilkan oleh kelompok dan bahkan akan “dikeluarkan” dari kelompok. Oleh karenanya seringkali individu harus berusaha untuk melakukan usaha konformis untuk menyesuaikan dengan standar kelompoknya.









PERUBAHAN SOSIAL MATERIALISTIK VS IDEALISTIK



Perspektif Materialis
Kubu perspektif materialis memandang bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya faktor material yang menyebabkannya. Faktor material tersebut diantaranya adalah faktor ekonomi dan teknologi yang berhubungan dengan ekonomi produksi. Pada dasarnya, perspektif ini menyatakan bahwa teknologi baru atau moda produksi baru menghasilkan perubahan pada interaksi sosial, organisasi sosial dan pada akhirnya menghasilkan nilai budaya, kepercayaan dan norma.
Perspektif materialistis bertumpu pada pemikiran Marx yang menyatakan bahwa kekuatan produksi berperan penting dalam membentuk masyarakat dan perubahan sosial. Marx memberikan penjelasan bahwa pada masa teknologi masih terbatas pada kincir angin memberikan bentuk tatanan masyarakat yang feodal, sedangkan ketika mesin uap telah ditemukan tatanan masyarakat menjadi bercirikan industrial kapitalis. Perspektif ini melihat bahwa bentuk pembagian kelas-kelas ekonomi merupakan dasar anatomi suatu masyarakat.
Peran penemuan teknologi baru di dalam perubahan sosial sangat besar, karena dengan adanya penemuan teknologi baru menyebabkan perubahan moda produksi dalam masyarakat. Masuknya teknologi telah dapat meningkatkan produktivitas dan pada akhirnya menghasilkan kesempatan kerja pada industri-industri baru yang bermunculan di kota besar. Perubahan lain yang sangat mendasar adalah munculnya kelas ekonomi baru yaitu kaum pemilik modal(pengusaha) dan buruh.
Moda produksi merupakan gabungan antara kekuasaan produksi (forces of production) dan hubungan produksi (relation of production). Unsur hubungan produksi disini menunjuk pada hubungan institusional atau hubungan sosial dalam masyarakat yang pada artinya menunjuk pada struktur sosial. Karakteristik hubungan produksi ini sekaligus merupakan faktor penciri yang membedakan satu dan tipe lain dari moda produksi dalam masyarakat.
Tipe-tipe moda produksi,antara lain:
1. Produksi subsisten, yaitu usaha pertanian tanaman pangan dimana hubungan produksi terbatas dalam keluarga inti dan hubungan antara pekerja bersifat egaliter.

2. Produksi komersialis, yaitu usaha pertanian ataupun luar pertanian yang sudah berorientasi pasar dimana hubungan produksi menunjuk pada gejala eksploitasi surplus melalui ikatan kekerabatan dan hubungan sosial antara pekerja yang umumnya masih kerabat bersifat egaliter namun kompetitif.
Produksi kapitalis, yaitu usaha padat modal berorientasi pasar dimana hubungan produksi mencakup struktur buruh-majikan atau tenaga kerja-pemilik modal.
Kapitalisme telah menyebabkan eksploitasi tenaga kerja besar-besaran. Upah yang diberikan oleh pemilik modal hanyalah upah semu saja, karena nilai lebih yang dihasilkan oleh barang industri tidaklah seimbang dengan “pengorbanan” yang dilakukan oleh buruh. Kapitalisme juga telah membelenggu krativitas buruh. Terlebih dengan adanya introduksi mesin-mesin industri menjadikan buruh semakin tersisih dan persaingan diantara buruh menjadi ketat. Akibat dari semua ini adalah ketidakberdayaan buruh dalam menolak upah rendah, yang ada adalah keterpaksaan bekerja dengan upah rendah daripada harus tidak menerima upah sama sekali.
Marx melihat pada moda produksi kapitalis bersifat labil dan pada akhirnya akan hilang. Hal ini disebabkan pola hubungan antara kaum kapitalis modal dan kaum buruh bercirikan pertentangan akibat eksploitasi besar-besaran oleh kaum kapitalis. Kaum buruh merupakan kaum proletar yang kesemuanya telah menjadi “korban” eksploitasi kaum borjuis. Marx meramalkan akan terjadi suatu keadaan dimana terjadi kesadaran kelas di kalangan kaum proletar. Kesadaran kelas ini membawa dampak pada adanya kemauan untuk melakukan perjuangan kelas untuk melepaskan diri dari eksploitasi, perjuangan ini dilakukan melalui revolusi.
Menurut Marx terdapat 3 tema menarik ketika kita hendak mempelajari perubahan sosial, yaitu :
1. Perubahan sosial menekankan pada kondisi materialis yang berpusat pada perubahan cara atau teknik produksi material sebagai sumber perubahan sosial budaya.
2. Perubahan sosial utama adalah kondisi material dan cara produksi dan hubungan sosial serta norma-norma kepemilikan.
3. Manusia menciptakan sejarah materialnya sendiri, selama ini mereka berjuang menghadapi lingkungan materialnya dan terlibat dalam hubungan-hubungan sosial yang terbatas dalam proses pembentukannya. Kemampuan manusia untuk membentuk sejarahnya sendiri dibatasi oleh keadaan lingkungan material dan sosial yang telah ada.
Dalam konsepsi Marx, perubahan sosial ada pada kondisi historis yang melekat pada perilaku manusia secara luas, tepatnya sejarah kehidupan material manusia. Pada hakikatnya perubahan sosial dapat diterangkan dari sejumlah hubungan sosial yang berasal dari pemilikan modal atau material. Dengan demikian, perubahan sosial hanya mungkin terjadi karena konflik kepentingan material atau hal yang bersifat material. Konflik sosial dan perubahan sosial menjadi satu pengertian yang setara karena perubahan sosial berasal dari adanya konflik kepentingan material tersebut.
Selain Marx, tokoh yang menyajikan pendapat tentang perspektif materialis adalah Ogburn. Ogburn menyoroti mengenai teknologi yang telah menyebabkan perubahan sosial di Amerika. Ogburn berpendapat bahwa budaya material berubah lebih cepat dibandingkan dengan budaya non material yang dapat menyebabkan terjadinya cultural lag.
Teknologi dapat menyebabkan perubahan sosial melalui tiga cara yang berbeda, yaitu :
1. Teknologi baru mampu meningkatkan berbagai kemungkinan-kemungkinan dalam masyarakat. Suatu hal yang tidak mungkin dilakukan pada masa lalu akan menjadi mungkin dengan bantuan teknologi.
2. Teknologi baru merubah pola interaksi dalam masyarakat
3. Teknologi baru menyebabkan terjadinya berbagai permasalahan hidup baru bagi masyarakat








Perspektif Idealis

Berbeda dengan kubu materialis yang memandang bahwa faktor budaya material yang menyebabkan perubahan sosial, perspektif idealis melihat bahwa perubahan sosial disebabkan oleh faktor non material. Faktor non material ini antara lain ide, nilai dan ideologi. Ide merujuk pada pengetahuan dan kepercayaan, nilai merupakan anggapan terhadap sesuatu yang pantas atau tidak pantas, sedangkan ideologi berarti serangkaian kepercayaan dan nilai yang digunakan untuk membenarkan atau melegitimasi bentuk tindakan masyarakat.
Salah satu pemikir dalam kubu idealis adalah Weber. Weber memiliki pendapat yang berbeda dengan Marx. Perkembangan industrial kapitalis tidak dapat dipahami hanya dengan membahas faktor penyebab yang bersifat material dan teknik. Namun demikian Weber juga tidak menyangkal pengaruh kedua faktor tersebut. Pemikiran Weber yang dapat berpengaruh pada teori perubahan sosial adalah dari bentuk rasionalisme yang dimiliki. Dalam kehidupan masyarakat barat model rasionalisme akan mewarnai semua aspek kehidupan.
Menurut Webar, rasionalitas memiliki empat macam model, yaitu :
1. Rasionalitas tradisional.
2. Rasionalitas yang berorientasi nilai.
3. Rasionalitas afektif.
4. Rasionalitas instrumental.
Weber melihat bahwa pada wilayah Eropa yang mempunyai perkembangan industrial kapital pesat adalah wilayah yang mempunyai penganut protestan. Bagi Weber, ini bukan suatu kebetulan semata. Nilai-nilai protestan menghasilkan etik budaya yang menunjang perkembangan industrial kapitalis. Protestan Calvinis merupakan dasar pemikiran etika protestan yang menganjurkan manusia untuk bekerja keras, hidup hemat dan menabung. Pada kondisi material yang hampir sama, industrial kapital ternyata tidak berkembang di wilayah dengan mayoritas Katholik, yang tentu saja tidak mempunyai etika protestan.
Tokoh lain adalah Lewy yang memperjelas pendapat Weber tentang peranan agama dalam perubahan sosial. Lewy mengambil contoh sejarah yang menggambarkan bahwa nilai-nilai agama mempengaruhi arah perubahan. Dia menyebutkan adanya pemberontakan Puritan di Inggris, kebangkitan kembali Islam di Sudan, pemberontakan taiping dan boxer di China. Seperti halnya Weber, Lewy tidak menyangkal bahwa kondisi material mempengaruhi perubahan sosial. Namun demikian kita tidak dapat hanya memahami perubahan sosial yang terjadi hanya dari faktor material saja.
Ideologi mampu menyebabkan perubahan paling tidak melalui tiga cara yang berbeda, yaitu :
1. Ideologi dapat melegitimasi keinginan untuk melakukan perubahan.
2. Ideologi mampu menjadi dasar solidaritas sosial yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan.
3. Ideologi dapat menyebabkan perubahan melalui menyoroti perbedaan dan permasalahan yang ada pada masyarakat.
Konsep perubahan sosial dapat muncul dari dua kubu yang berbeda, yaitu kubu materialis yang dipelopori oleh Marx dan kubu idealis yang dipelopori oleh Weber. Pemikiran Weber pada awalnya setuju dengan ide dasar pemikiran Marx, namun dia tidak sependapat untuk menempatkan manusia sebagai robot. Pada masyarakat modern, Marx dan Weber memiliki kesamaan pandangan, bahwa masyarakat modern telah diikat dengan spirit kapitalisme.

Mobilisasi dan Kontrol; Materialis vs Idealis

Studi yang dilakukan oleh Kurasawa ini bertujuan untuk menganalisis perubahan sosial, ekonomi dan psikologis yang muncul atau berkembang selama masa pendudukan Jepang di masyarakat pedesaan Jawa. Kebijakan-kebijakan Jepang di Jawa dapat dicirikan oleh perpaduan antara mobilisasi dan kontrol. Mobilisasi berarti memanggil rakyat untuk berpartisipasi dalam pengabdian militer, pekerjaan umum, kegiatan politik atau seremonial lainnya.
Kebijakan mobilisasi ini juga dipadukan dengan kebijakan kontrol yang ketat oleh pemerintah. Seluruh kegiatan ekonomi secara ketat dikontrol oleh pemerintah melalui berbagai bentuk peraturan. Tidak terdapat kebebasan dalam kegiatan politik, ideologi dan seni. Rakyat diharapkan mempunyai pikiran yang seragam dan melakukan konformitas dalam tingkah laku mereka.
Kebijakan Jepang membantu melahirkan berbagai perubahan dan fenomena baru di masyarakat. Perubahan sosial semacam ini paling mencolok di kawasan pedesaan. Masyarakat desa merupakan sumber dari barang-barang yang dibutuhkan Jepang untuk menjalankan kebijakan militernya. Keberhasilan pemerintah Jepang ditentukan oleh keberhasilan menarik bantuan dari masyarakat pedesaan. Oleh karenanya, Jepang melakukan berbagai proyek atau kegiatan baru di desa sehingga campur tangan dengan masalah administrasi dan adat masyarakat desa.
Di bidang pertanian, Jepang yang membutuhkan bahan pangan untuk pasukan militernya, harus berupaya mendapatkan bahan pangan dari masyarakat pedesaan. Bahan pangan utama yang dibutuhkan adalah padi, sehingga upaya peningkatan produksi dilakukan oleh Jepang. Pengenalan varietas padi baru yang dihasilkan oleh ilmuan Jepang dilakukan pada masyarakat pedesaan. Untuk memperluas sawah, hutan-hutan dibuka, pembangunan jaringan irigasi dan tanah-tanah perkebunan diubah menjadi sawah. Namun demikian, kebijakan peningkatan produksi ini mengalami kegagalan.
Kebijakan-kebijakan pendudukan Jepang di Jawa bertanggung jawab atas timbulnya bermacam-macam perubahan sosial di dalam masyarakat pedesaan. Kontrol yang kuat dipergunakan terhadap usaha-usaha dan kegiatan ekonomi petani di pedesaan menyebabkan perubahan struktur pertanian dan ekonomi di Jawa. Selain itu juga diperkenalkan kontrol terhadap pemerintahan desa dan menimbulkan perubahan dalam hubungan sosial dan sistem kepemimpinan desa. Propaganda dan pendidikan juga dilakukan oleh Jepang untuk dapat melakukan pengerahan massa sesuai dengan tujuan Jepang. Mobilitas sosial yang meningkat baik secara horisontal maupun vertikal menyebabkan timbulnya identitas “nasional”. Selain itu, Jepang juga harus bertanggung jawab atas menguaknya keterpisahan sosial antar lapisan dalam masyarakat pedesaan. Ringkasnya, Jepang telah membantu meningkatkan keragaman dan diversivikasi di masyarakat pedesaan. Cara berpikir dan bertingkah laku yang baru, pola-pola persekutuan dan persaingan menjadi berkembang di pedesaan Jawa. Masa penjajahan Jepang yang hanya 3,5 tahun ternyata tidak cukup bagi Jepang untuk mencapai sasaran-sasaran yang mereka kehendaki.
Jepang berusaha melakukan propaganda melalui pendidikan sehingga akan menghasilkan nilai budaya dan kepercayaan yang baru. Semangat kerja keras ala samurai juga coba diperkenalkan kepada masyarakat pedesaan. Dalam perspektif idealis memandang usaha yang dilakukan Jepang merupakan suatu proses yang akan menghasilkan perubahan pada masyarakat pedesaan. Penanaman ideologi yang dilakukan oleh Jepang dapat menyebabkan sebuah perubahan sosial yang mendasar di pedesaan. Tumbuhnya semangat untuk melakukan meraih kemerdekaan merupakan perubahan yang mendasar hingga akhirnya tercapai pada tahun 1945. Perubahan pada masa penjajahan Jepang tidak hanya dapat dipandang dari sudut idealisme saja. Perubahan struktur ekonomi yang terjadi di daerah pedesaan, mau tidak mau juga telah menyebabkan perubahan di dalam hubungan antarindividu.








PERSPEKTIF SOSIO HISTORIS PERKEMBANGAN VS SIKLUS

Perspektif sosio historis Perkembangan dan Siklus
Tesis utama perspektif sosiohistoris perkembangan atau terlazim juga disebut dengan teori evolusi sosial ini adalah bahwa pada dasarnya setiap masyarakat (walau secara lambat namun pasti) akan berubah dari striktur sosial yang sederhana menuju ke yang lebih kompleks maju dan modern.
Teori ini bersumber dari teori evolusi Darwin yang kemudian mengilhami ilmuwan sosial dalam mengembangkan teori evolusi sosial, seperti Herbert Spencer, August Comte dan Emile Durkheim. Perkembangan masyarakat seringkali dianalogikan seperti halnya proses evolusi. suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penemuan ilmu biologi, yang memang telah berkembang dengan pesatnya. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk “evolusi” antara lain Herbert Spencer dan Augus Comte. Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat.
Pemikiran Spencer sangat dipengaruhi oleh ahli biologi pencetus ide evolusi sebagai proses seleksi alam, Charles Darwin, dengan menunjukkan bahwa perubahan sosial juga adalah proses seleksi. Masyarakat berkembang dengan paradigma Darwinian: ada proses seleksi di dalam masyarakat kita atas individu-individunya. Spencer menganalogikan masyarakat sebagai layaknya perkembangan mahkluk hidup. Manusia dan masyarakat termasuk didalamnya kebudayaan mengalami perkembangan secara bertahap. Mula-mula berasal dari bentuk yang sederhana kemudian berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks menuju tahap akhir yang sempurna.
Menurut Spencer, suatu organisme akan bertambah sempurna apabila bertambah kompleks dan terjadi diferensiasi antar organ-organnya. Kesempurnaan organisme dicirikan oleh kompleksitas, differensiasi dan integrasi. Perkembangan masyarakat pada dasarnya berarti pertambahan diferensiasi dan integrasi, pembagian kerja dan perubahan dari keadaan homogen menjadi heterogen. Spencer berusaha meyakinkan bahwa masyarakat tanpa diferensiasi pada tahap pra industri secara intern justru tidak stabil yang disebabkan oleh pertentangan di antara mereka sendiri. Pada masyarakat industri yang telah terdiferensiasi dengan mantap akan terjadi suatu stabilitas menuju kehidupan yang damai. Masyarakat industri ditandai dengan meningkatnya perlindungan atas hak individu, berkurangnya kekuasaan pemerintah, berakhirnya peperangan antar negara, terhapusnya batas-batas negara dan terwujudnya masyarakat global.
Seperti halnya Spencer, pemikiran Comte sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu alam. Pemikiran Comte yang dikenal dengan aliran positivisme, memandang bahwa masyarakat harus menjalani berbagai tahap evolusi yang pada masing-masing tahap tersebut dihubungkan dengan pola pemikiran tertentu. Selanjutnya Comte menjelaskan bahwa setiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang berdifat progresif. Sebagaimana Spencer yang menggunakan analogi perkembangan mahkluk hidup, Comte menyatakan bahwa dengan adanya pembagian kerja, masyarakat akan menjadi semakin kompleks, terdeferiansi dan terspesialisasi.  
Membahas tentang perubahan sosial, Comte membaginya dalam dua konsep yaitu social statics (bangunan struktural) dan social dynamics (dinamika struktural). Bangunan struktural merupakan struktur yang berlaku pada suatu masa tertentu. Bahasan utamanya mengenai struktur sosial yang ada di masyarakat yang melandasi dan menunjang kestabilan masyarakat. Sedangkan dinamika struktural merupakan hal-hal yang berubah dari satu waktu ke waktu yang lain. Perubahan pada bangunan struktural maupun dinamika struktural merupakan bagian yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.
Berbeda dengan Spencer dan Comte yang menggunakan konsepsi optimisme, Oswald Spengler cenderung ke arah pesimisme. Menurut Spengler, kehidupan manusia pada dasarnya merupakan suatu rangkaian yang tidak pernah berakhir dengan pasang surut. seperti halnya kehidupan organisme yang mempunyai suatu siklus mulai dari kelahiran, masa anak-anak, dewasa, masa tua dan kematian. Perkembangan pada masyarakat merupakan siklus yang terus akan berulang dan tidak berarti kumulatif.
Perkembangan vs Siklus
Perbandingan
Perkembangan
Siklus
Landasan Pemikiran
Perkembangan organisme
Perkembangan organisme
Sifat perubahan
Kumulatif
Siklus pasang surut
Konsepsi
Optimisme
Pesimisme

            Kedua teori besar ini pada akhirnya mempunyai banyak “turunan”. Teori perkembangan yang diawali oleh Spencer dan Comte melahirkan pemikiran Marx. Sedangkan teori siklus melahirkan pemikiran Vilfredo Pareto dan Max Weber. Perjuangan kelas yang digambarkan oleh Marx merupakan suatu bentuk perkembangan yang akan berakhir pada kemenangan kelas proletar yang selanjutnya akan mwujudkan masyarakat tanpa kelas. Perkembangan masyarakat oleh Marx digambarkan sebagai bentuk linear yang mengacu kepada hubungan moda produksi. Berawal dari bentuk masyarakat primitif (primitive communism) kemudian berakhir pada masyarakat modern tanpa kelas (scientific communism). Tahap yang harus dilewati antara lain, tahap masyarakat feodal dan tahap masyarakat borjuis.
            Marx menggambarkan bahwa dunia masih pada tahap masyarakat borjuis sehingga untuk mencapai tahap “kesempurnaan” perkembangan perlu dilakukan revolusi oleh kaum proletar. Revolusi ini kan mampu merebut semua faktor produksi dan pada akhirnya mampu menumbangkan kaum borjuis sehingga akan terwujud masyarakat tanpa kelas.
Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman; Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830 - 1980
            Catatan perjalanan pembangunan pertanian di Indonesia telah banyak diulas oleh para peneliti. Salah satunya hasil penelitian Frans Hüsken yang dilaksanan pada tahun 1974. Penelitian yang mengulas tentang perubahan sosial di masyarakat pedesaan Jawa sebagai akibat kebijakan pembangunan pertanian yang diambil oleh pemerintah.  Penelitian ini dilakukan di Desa Gondosari, Kawedanan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kekhususan dan keunikan dari penelitian ini terletak pada isinya yang tidak saja merekam pengalaman perubahan sosial (revolusi) tersebut, namun juga menggali studi dalam perspektif sejarah yang lebih jauh ke belakang. Penelitian ini berhasil mengungkap fenomena perubahan politik, sosial dan ekonomi melintasi tiga zaman, yaitu penjajahan Belanda, Jepang hingga masa pemerintahan orde lama dan orde baru.
            Daerah pedesaan Tayu sebelum 1850 berkembang sering dengan masuknya imperialisme gula oleh Belanda. Sebelum masuk imperialisme gula tersebut, wilayah ini tidak memiliki arti dan peran yang penting dalam perekonomian. Sebuah laporan yang dilakukan oleh Du Bus pada tahun 1825 mencoba membandingkan mengenai pertanian Jawa dan pertanian Eropa. Gambaran yang disampaikan oleh Du Bus pada waktu itu tentang pertanian Jawa adalah sebuah pertanian yang tidak berkembang atau mandek. Bagi Du Bus, pertanian Jawa sudah tidak dapat berkembang karena tatanan sosial masyarakat pedesaan Jawa dan sifat kebersamaan sosial ekonomi yang berlaku. Menurutnya, petani Jawa merupakan petani padi yang terlibat dalam berbagai macam upeti dan kerja suka rela kepada kaum pejabat pribumi, sehingga petani Jawa menjadi petani yang pasif dan diliputi oleh sifat apatis. Penduduk pedesaan Jawa hampir seluruhnya merupakan petani kecil yang hanya memiliki secuil tanah. Hasil pertanian yang diperoleh sebatas untuk menutupi kebutuhan sehari-hari secara minimal. Secara ekonomi, mereka tidak berani mengambil resiko dalam pemilihan komoditas, sehingga dari masa ke masa mereka tetap mengusahakan tanaman padi.
            Kebijakan yang harus diambil untuk mengatasi kemandekan tersebut adalah dengan kebijaksanaan politik liberal sehingga mampu merangsang pertumbuhan perekonomian pemerintah kolonial melalui bantuan dari luar. Politik ini diwujudkan dalam bentuk perubahan struktur kepemilikan tanah yang semula komunal menjadi perorangan, mengundang investasi asing serta menyediakan tanah untuk diusahakan oleh orang Eropa.
            Gagasan Du Bus dibantah oleh Van den Bosch, yang tidak melihat adanya keuntungan bagi pemerintah kolonial apabila melakukan politik liberal tersebut. Bosch kemudian mengusulkan kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel). Keberhasilan Bosch pada saat bertugas di Suriname membuat Raja Willem I menghargai pendapatnya, hingga pada tahun 1830, Bosch menggantikan kedudukan Du Bus. Akhirnya kebijakan tanam paksa menjadi landasan kebijakan kolonial Belanda sesudah tahun 1830. Bersamaan dengan masuknya ekonomi kapitalis, timbul pula gejala komersialisasi yang meluas cepat di daerah pedesaan. Dampak lebih lanjut adalah terjadinya diferensiasi sosial sebagai akibat konversi penggunaan dan konsentrasi penguasaan tanah di tangan petani lapisan atas serta pemilik modal. Semakin jelas terjadinya pelapisan sosial, bahkan menuju pada kesenjangan sosial yang semakin melebar. Kesenjangan sosial yang cukup lebar ini kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan perlawanan politik.
            Perkembangan kemudian adalah diferensiasi sosial yang terjadi, sebagai gejala sosiologi sejak kapitalisme liberal menyusup ke dalam masyarakat desa. Pertentangan antar lapisan sosial dan pertentangan ekonomi serta politik semakin tajam. Pertentangan ini terjadi sebagai dampak dari penguasaan atas tanah dan tenaga kerja. Perebutan yang terjadi mengenai penguasaan atas aset tanah dan tenaga kerja tidak dapat lepas dari perkembangan dan kemunduran industri gula di daerah tersebut.
            Kesulitan masyarakat semakin menjadi-jadi setelah krisis ekonomi melanda dunia pada tahun 1930-an. Kesejahteraan penduduk di Tayu dan Desa Gondosari semakin merosot setelah pada tahun 1932 pabrik gula tidak menyewa lahan pertanian lagi, bahkan pada tahun 1933 pabrik gula memecat semua pekerja tetap. Kesengsaraan belum berakhir seiring dengan pecahnya perang dunia ke-2 dan masuknya pendudukan Jepang pada tahun 1942. Kebijakan tanam paksa ternyata diwarisi oleh pemerintahan kolonial Jepang, bahkan seperempat hingga sepertiga hasil panen disita oleh pemerintah kolonial Jepang untuk memenuhi logistik perang.
            Era kemerdekaan juga tidak dengan serta merta dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Diferensiasi sosial tetap terjadi sebagai akibat komersialisasi dan akumulasi penguasaan tanah, modernisasi pertanian dan pertikaian politik lokal sebagai pencerminan dari proses-proses di tingkat nasional. Struktur sosial di pedesaan tidak berubah, elit desa sebagai lapisan atas yang menguasai tanah tetap dominan. Lapisan bawah semakin bertambah karena pertambahan penduduk dan ketertarikan penduduk untuk bekerja sebagai buruh tani di industri gula.
            Peralihan kepemimpinan pada rezim orde baru yang didukung oleh negara-negara barat merubah pula model pembangunan nasional bangsa kita, termasuk di dalamnya pembangunan pertanian. Kebijaksanaan pembangunan pertanian menggunakan pendekatan modernisasi dan intensifikasi dengan tujuan untuk meningkatkan produksi. Pada era ini pula keberhasilan semu pembangunan pertanian menampakkan hasilnya. Pada tahun 1985, Indonesia berhasil mewujudkan swasembada pangan terutama beras.
            Dibalik keberhasilan tersebut, struktur sosial masyarakat pedesaan tetap tidak berubah. Diferensiasi tetap terjadi bahkan dengan jurang pemisah yang jauh lebih lebar antara petani kaya dengan petani miskin, antara tuan tanah dengan buruh tani. Pembangunan pertanian hanya menyentuh petani besar yang menguasai tanah dalam jumlah besar, sedangkan petani kecil dan buruh tani justru terlempar dari sektor pertanian. Selain bertahan dengan “keterbatasannya”, petani kecil dan buruh tani terpaksa melakukan migrasi di daerah perkotaan sehingga memunculkan masalah baru dalam pembangunan nasional.
Madura dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam
            Penelitian ini dilaksanakan di sebuah desa di pantai selatan Madura, yang diberi nama samaran Desa Parindu. Desa Parindu termasuk dalam wilayah Kabupaten Sumenep, satu diantara empat kabupaten yang ada di Madura. Sebagian besar penduduk setempat berdagang komoditi pertanian, terutama tembakau dengan daerah pemasaran Jawa. Tembakau ini diperoleh dari daerah timur Madura. Hubungan dagang yang dijalin oleh penduduk Desa Parindu ternyata sangat luas, tidak terbatas pada daerah di sekitar Madura namun hingga para pengusaha di Jawa.
            Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799, Madura menjadi bagian negara kolonial Hindia Belanda. Pemerintah kolonial memutuskan untuk mempertahankan sistem pemerintahan tidak langsung di Madura. Berbeda dengan para bupati di Jawa yang mengalami pemerintahan langsung di sebagian besar Jawa. Para bupati di Jawa ditunkan statusnya menjadi pegawai kolonial, sedangkan penguasa Madura tetap memiliki otonomi dalam pemerintahan.
            Pada awal abad 19, para bupati di Madura berhasil memperluas kemandirian mereka. Setiap tahun Pulau Madura menyumbangkan sejumlah besar calon serdadu untuk tentara kolonial. Pada tahun 1831 di setiap kabupaten didirikan korps-korps militer yang disebut barisan. Korps militer ini dilatih oleh para instruktur Eropa untuk memerangi huru-hara di seluruh nusantara. Akibat “budi baik” para bupati ini, pemerintah kolonial semakin “memanjakan” para bupati, bahkan bupati mendapatkan kebebasan untuk mendapatkan penghasilan dari rakyat. Fenomena ini menyebabkan bupati menjadi penguasa yang lalin dan cenderung “menghisap” rakyat. Pemerintah kolonial akhirnya menyadari bahwa perilaku para bupati sudah sangat keterlaluan sehingga secara berangsur-angsur mengurangi wewenang bupati tersebut.
            Secara umum Desa Parindu dibagi menjadi dua wilayah sesuai dengan tipe ekologinya. Wilayah pesisir merupakan daerah pemukiman yang menggantungkan hidupnya dari sektor perikanan laut. Selain wilayah pesisir, Desa Parindu juga mempunyai wilayah dataran yang agak jauh dari pantai. Daerah ini dikenal dengan daerah udik. Sebagaimana wilayah Madura umumnya, daerah udik merupakan wilayah lahan kering sehingga pertanian yang berkembang merupakan pertanian lahan kering atau tegalan. Komoditas yang paling dominan adalah kelapa dan siwalan. Desa Parindu pun dikenal sebagai desa penghasil gula kelapa atau gula aren. Bertambahnya penduduk dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan timbulnya gejala migrasi.
            Temuan penting dalam penelitian ini yang menarik untuk diulas adalah dinamika pengusahaan komoditas tembakau. Penyebarluasan tanaman tembakau komersial di Madura sangat ditentukan oleh perkembangan agraris di Jawa. Penerapan sistem tanam paksa maupun introduksi kapitalisme perkebunan secara tidak langsung memberikan arti penting bagi budidaya tembakau di Madura. Penanaman tembakau di Jawa dimulai sejak abad 17. tembakau diperkenalkan oleh orang-orang Portugis dan terbatas ditanam di sekitar pantai yang sering dikunjungi oleh orang-orang Eropa. Perkembangan tanaman tembakau menjadi pesat dan menyebar ke berbagai penjuru Jawa. Pada abad 18, tembakau termasuk dalam komoditas penting. Tembakau menjadi barang dagangan nomor dua setelah beras. Dari berbagai macam tanaman perkebunan yang diperkenalkan orang Eropa kepada petani Jawa, tembakau menempati urutan paling tinggi sebagai tanaman yang paling disukai oleh petani Jawa. Penanaman tembakau di Madura sebelum tahun 1800-an tidak terdapat keterangan yang berarti, mungkin karena pengusahaannya masih dalam skala terbatas. Pada tahun 1832, tembakau termasuk dalam salah satu komoditas sistem tanam paksa. Namun di Madura tembakau masih merupakan tanaman rakyat yang bebas. Perdagangan tembakau dikuasai oleh orang Jawa dan Cina.
            Keterbatasan ekologi Madura menyebabkan sistem tanam paksa tidak masuk ke Madura. Bahkan ketika imperialisme gula hadir, Madura menjadi daerah yang tidak tersentuh. Begitu halnya dengan komoditas tembakau. Seiring meningkatnya jumlah perkebunan tembakau yang dikelola oleh pemerintah kolonial, banyak tenaga kerja yang dibutuhkan. Pengalaman dalam penanaman tembakau skala kecil yang dimiliki oleh orang Madura, menyebabkan dalam waktu singkat mereka mendapatkan pekerjaan di perkebunan tembakau Jawa.
            Pengalaman yang diperoleh selama menjadi buruh migran di Jawa dipraktekkan di Madura.  Walaupun pemerintah kolonial telah melakukan “penelitian” yang hasilnya adalah tidak merekomendasikan pengembangan tembakau di Madura, kegiatan penanaman tembakau secara “modern” ini ternyata berhasil. Sejak saat itu pula perkembangan tembakau di Madura dapat sedemikian pesatnya. Penyebarluasan tanaman tembakau menimbulkan pergeseran dalam hubungan kepemilikan tanah dan juga hubungan kerja. Bentuk penyewaan tanah dan bagi hasil mengalami peningkatan yang sangat berarti. Demikian pula dengan pertambahan jumlah buruh tani atau petani tanpa tanah.


Perubahan Sosial di Masyarakat Jawa
Periode
Parindu
Gondosari
Pemerintah kolonial Belanda
· Tidak tersentuh sistem tanam paksa akibat keterbatasan ekologis.
· Tembakau menjadi komoditas yang berkembang di Jawa, banyak penduduk Madura dipekerjakan pada perkebunan tembakau.
· Tahun 1861 muncul perusahaan partikelir yang mencoba komoditas tembakau secara intensif dan berhasil.
· Munculnya sistem tanam paksa (imperialisme gula).
· Diferensiasi sosial muncul antara lapisan petani kaya dan petani miskin, tuan tanah dengan buruh tani.
· Pada tahun 1930, krisis ekonomi melanda dunia. Pabrik gula mengalami kebangkrutan, tahun 1932 pabrik gula tidak menyewa lahan pertanian lagi, bahkan pada tahun 1933 pabrik gula memecat semua pekerja tetap.
Pemerintah kolonial Jepang
· Penanaman tembakau mengalami kemunduran. Petani hanya diperbolehkan menanam tanaman pangan.
· Sistem tanam paksa dengan komoditas tanaman pangan, hingga sepertiga hasil panen dirampas oleh pemerintah kolonial Jepang untuk logistik perang.
Orde Lama
· Tahun 1950-an penanaman tembakau mengalami peningkatan kembali. British American Tobbaco mulai melirik Madura.
· Tahun 1952 pabrik gula beroperasi kembali.
· Tahun 1956 pabrik gula berhenti beroperasi sebagai akibat aksi buruh dan petani yang berafiliasi ke PKI.
· Pada tahun 1957 pabrik gula diambil alih oleh pemerintah (militer), namun pengelolaannya tidak efisien sehingga tidak mampu membayar sewa lahan kepada petani. Petani beralih mengusahakan komoditas padi.
· Tahun 1960 terjadi krisis ekonomi dan politik. Ketegangan terjadi antara simpatisan PKI, NU dan PNI.
· Tahun 1965 terjadi pembantaian besar-besaran terhadap simpatisan PKI oleh pemuda NU.
Orde Baru
· Penanaman tembakau semakin intensif dan berkembang luas di Madura seiring revolusi hijau.
· Revolusi hijau, semakin memperlebar diferensiasi sosial. Hanya petani kaya yang mampu mengakses pembangunan pertanian ala orde baru.


Teori siklus menurut ibnu khaldun
              Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu: (Muqaddimah: 175). 1.Tahap sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya. 2.Tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya. 3.Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara. 4.Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya. 5.Tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya. Tahap-tahap itu menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga generasi, yaitu: 1. Generasi Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan yang didukungnya. 2. Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara. 3. Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa memedulikan nasib negara. Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu, dan menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad. Ibn Khaldun juga menuturkan bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan ‘Ashabiyyah di antara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain (Muqaddimah: 172). Tahapan-tahapan diatas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus.